Gangguan pada sistem pencernaan balita tentu akan meresahkan Ibu. Ketahui lebih banyak mengenai berbagai gejala dan cara menangani masalah umum pada sistem pencernaan balita dengan informasi komprehensif dari Tim Ahli Nutriclub di bawah ini.
5 Masalah Umum Pencernaan Balita
1. Diare
Diare merupakan kondisi saat si Kecil mengalami buang air besar dengan konsistensi cair dan frekuensi sering yaitu lebih dari tiga kali sehari. Diare bisa disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya karena infeksi bakteri, virus atau parasit, reaksi obat dan sensitif terhadap makanan tertentu.
Ibu sebaiknya lebih berhati-hati, jika si Kecil yang mengalami diare masih berusia di bawah 5 tahun, karena diare bisa menyebabkan dehidrasi yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada rentang usia tersebut. Diare pada si Kecil yang berlangsung selama 2-8 hari, biasanya disebabkan oleh virus. Diare dapat disertai gejala lain seperti demam, nyeri perut, mual dan muntah.
Bila si Kecil sudah mengalami diare selama lebih dari 7 hari, sebaiknya Ibu membawa si Kecil ke dokter. Selain itu, jika kondisi diare yang dialami si Kecil disertai dengan tanda-tanda dehidrasi, demam selama lebih dari 3 hari atau lebih dari 38,8 derajat celcius, terdapat darah pada tinja atau tinja berwarna hitam, artinya si Kecil harus segera mendapatkan penanganan medis.
Tanda-tanda dehidrasi yang umum terjadi, antara lain:
- Mulut kering
- Tidak ada air mata ketika menangis
- Tidak berkemih selama 3 jam atau lebih
- Mata cekung
- Demam tinggi
- Terlihat lemas
- Tidak mau menyusu.
Sebagai penanganan pertama, Ibu bisa memberikan oralit khusus anak1 untuk mengganti cairan tubuh dan elektrolit si Kecil dan mencegah terjadinya dehidrasi. Selain itu, bila si Kecil masih mengonsumsi ASI, teruskan pemberiannya.
Sedangkan pada anak yang sudah lebih besar, tetap diberikan makanan bernutrisi seimbang dalam jumlah yang cukup. Ibu sebaiknya tidak memberikan obat-obat anti diare atau antibiotik tanpa petunjuk dokter.
Baca Juga: Gangguan Saluran Cerna Akibat Alergi pada Balita
2. Konstipasi
Konstipasi atau sembelit merupakan kondisi sulit buang air besar (BAB) yang terjadi dalam kurun waktu dua minggu atau lebih. Normalnya, terdapat perubahan frekuensi BAB pada si Kecil sesuai perkembangan fisik dan usianya.
Pada anak kurang dari 1 tahun, BAB terjadi 2 kali per hari sedangkan pada anak di atas 1 tahun BAB terjadi 1 kali per hari. Apabila dalam satu minggu si Kecil hanya BAB kurang dari dua kali atau memiliki tinja yang keras, kering dan kecil sehingga sulit atau nyeri bila dikeluarkan, disertai keluhan nyeri perut, maka hal ini sudah menjadi tanda si Kecil mengalami konstipasi.
Penyebab konstipasi antara lain adalah:
- Kurang minum air, asupan jumlah makanan dan kurangnya konsumsi serat.
- Kebiasaan si Kecil mengabaikan hasrat buang air besar.
- Penggunaan obat-obatan tertentu.
Terdapat tiga prinsip penanganan konstipasi pada si Kecil, yaitu:
- Perubahan pola makan yaitu dengan memastikan jumlah makanan si Kecil cukup.
- Memperbanyak asupan makanan berserat seperti buah dan sayur, mencukupi kebutuhan cairan si Kecil,
- Melakukan perubahan kebiasaan BAB dengan membuat jadwal rutin ke toilet.
Bila tidak ada perbaikan dengan perubahan pola tersebut si Kecil perlu dibantu dengan minum obat. Namun, apabila si Kecil mengalami satu atau lebih gejala seperti demam, muntah, berat badan turun, terdapat darah dalam tinja dan perut membuncit, sebaiknya Ibu memeriksakan si Kecil ke dokter.
Baca Juga: Bayi Sering Kentut Belum Tentu Pertanda Gangguan Pencernaan
Penanganan awal yang akan diberikan oleh dokter umumnya dengan menggunakan obat-obatan laksatif yang digunakan melalui anus.
3. Intoleransi Laktosa
Laktosa adalah jenis gula yang ditemukan pada susu dan produk susu lainnya. Laktosa akan dicerna oleh enzim laktase yang dihasilkan oleh usus halus. Intoleransi laktosa merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan pencernaan seperti kembung, diare, kentut, mual dan nyeri perut setelah 30 menit sampai 2 jam si Kecil mengonsumsi susu atau produk susu lainnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya enzim laktase dan malabsorbsi laktosa.
Terkadang kondisi intoleransi laktosa sering disamakan dengan alergi susu sapi. Namun, ini merupakan dua kondisi yang berbeda. Intoleransi laktosa merupakan gangguan sistem pencernaan sedangkan alergi susu merupakan reaksi sistem daya tahan tubuh si Kecil terhadap satu atau lebih protein susu.
Reaksi alergi susu dapat membahayakan walaupun si Kecil hanya mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang kecil. Alergi susu biasanya terjadi pada anak-anak usia satu tahun sedangkan intoleransi laktosa lebih sering pada anak usia sekolah namun juga dapat muncul dari kecil.
Apabila si Kecil mengalami intoleransi laktosa dan dipuasakan dari susu sapi, maka si Kecil beresiko untuk kekurangan nutrisi seperti kalsium dan vitamin D yang banyak terkandung dalam susu. Apabila Ibu menemukan gejala intoleransi laktosa pada si Kecil, sebaiknya Ibu mengonsultasikan kondisi si Kecil dokter.
4. Radang Usus Buntu
Radang usus buntu atau apendisitis merupakan kondisi yang paling sering dicurigai pada si Kecil yang mengeluhkan nyeri perut akut. Usus buntu merupakan bagian tubuh yang terletak di usus besar bagian kanan bawah perut.
Peradangan pada bagian ini terjadi karena adanya sumbatan tinja, parasit, pembesaran kelenjar getah bening atau karena trauma perut pada rongga usus buntu. Nyeri perut pada radang usus buntu biasanya terjadi secara tiba-tiba, awalnya di tengah atau di ulu hati lalu berpindah ke kanan bawah, bertambah nyeri ketika digerakkan, batuk, menarik napas atau bersin.
Selain nyeri perut, gejala yang biasanya menyertai adalah kurangnya nafsu makan, mual, muntah, konstipasi atau diare, dan demam tidak terlalu tinggi sebelumnya. Radang usus buntu merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan tindakan operasi segera apabila sudah dipastikan.
5. Penyakit Refluks Gastroesofagus
Pada si Kecil dengan usia kurang dari 2 tahun sering terjadi kondisi refluks gastroesofagus yaitu kondisi ketika isi makanan dalam lambung kembali ke kerongkongan.
Sebagian besar si Kecil sering mengalami kondisi ini setiap hari pada usia 3 bulan pertama kehidupannya dan akan berhenti pada usia 12 hingga 14 bulan. Ibu sebaiknya waspada jika kondisi refluks ini terjadi sudah lebih lama dari usia seharusnya dan disertai dengan gejala muntah, berkurangnya nafsu makan serta mempengaruhi kondisi kesehatan si Kecil.
Refluks gastroesofagus dapat terjadi karena pada bayi perkembangan otot yang mengatur buka tutupnya kerongkongan dan lambung belum berkembang sempurna. Untuk penanganannya, biasanya dokter akan memberikan obat-obatan sesuai hasil diagnosa, menyarankan perubahan pola makan si Kecil atau dilakukan pembedahan bila diperlukan.
Baca Juga: Memilih Nutrisi yang Tepat untuk Redakan Kolik Pada Si Kecil